Jakarta -Jangan sampai Anda meninggal akibat virus Corona. Tentu saja tidak ada yang tahu kapan dan di mana seseorang akan wafat, kecuali Sang Pencipta saja. Tetapi bukti yang ada belakangan ini sungguh menyesakkan dada: banyak yang meninggal akibat Corona dikucilkan, dihina dan diasingkan. Muncul stigma di berbagai tempat. Bahkan di Semarang perawat yang telah berjasa mengorbankan dirinya demi masyarakat pun ditolak pemakamannya.

Padahal pemerintah telah memiliki prosedur tetap untuk itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga 16 April misalnya, telah memulasarakan 1.035 jenazah dengan protap Corona (detikcom, 16 April 2020)..

Saya tidak tahu, apakah masyarakat memang belum paham tentang cara hidup atau sifat-sifat virus penyebab radang paru-paru (pneumonia) dan kegagalan berbagai organ tubuh itu, atau pemerintah yang kurang gencar dalam mengedukasi mereka dalam perkara itu. Mungkin keduanya.

Barangkali karena tahu adanya ancaman stigmatisasi itu, pagi-pagi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Diseases Control and Prevention, atau CDC), AS, sudah mengingatkan akan bahaya tersebut. Menurut CDC, “Belum diketahui adanya risiko yang diasosiasikan dengan situasi ketika berada bersama-sama dalam satu ruangan pada sebuah acara pemakaman seseorang yang meninggal akibat Covid-19.”

Laman CDC juga mengingatkan bahwa, Covid-19 adalah sebuah penyakit baru dan “kami masih mempelajari bagaimana ia menyebar,” (huruf tebal dari tulisan asli CDC di situsnya). Oleh karenanya jangan menyentuh tubuh jenazah yang meninggal akibat infeksi virus subfamili Orthocoronavirinae itu.

Kita tahu, anjuran CDC itu sesungguhnya juga sudah dilakukan pemerintah Indonesia, lewat protokol pemakaman yang sangat ketat, bahkan membungkus jenazah dengan lapisan plastik dan klorin, serta melakukan setidaknya dua kali disinfeksi sebelum dimakamkan – walakin, anehnya, mengapa masyarakat tidak tahu itu sehingga memperlakukan mereka bagai parasit?

Falasi Berpikir

Apa yang sebenarnya terjadi? Stigma kepada korban penyakit sejenis wabah telah mencoreng sejarah manusia, dan kini terbukti telah terjadi kembali pada wabah Corona. Sesungguhnya, menurut ahli ilmu perkembangan manusia dan keluarga University of Delaware (AS) Valerie Earnshaw di situs Harvard Business Review (6 April 2020), stigma merupakan sebuah respons evolusioner: kita suka bersikap menjauhi orang lain yang mungkin bisa menulari kita.

Secara umum reaksi-reaksi ini membuat manusia ‘ngeri, atau jijik’ pada tanda-tanda penyakit apa pun, seperti muntah atau bercak ‘lesi’ pada kulit, tidak peduli apakah tanda itu merupakan ancaman nyata bagi kesehatan kita atau tidak.

Tidak banyak yang tahu, rupanya sifat itu diwarisi manusia dari cara hidup hewan, melalui strategi parasite avoidance, ketika hewan mencegah diri atau kelompoknya dari kontak dengan parasit pembawa bahaya – selain ancaman dari predator. Cecile Sarabian, Curtis, dan McMullan menulis dalam situs National Institutes of Health (2018), bahwa parasite avoidance tampak, misalnya, pada ikan yang menghindari kawanan ikan lain yang ‘aneh’, monyet dan gorilla yang menghindari makanan terkontaminasi, tikus yang anti pada hubungan seks dengan lawan jenis yang sakit, lebah yang selalu menjaga higiene-nya, dan ketika burung menjauhi lingkungan yang kotor. Serangga sosial seperti semut juga menghindari parasit di sarang mereka melalui beberapa taktik.

Ada unsur moral juga di situ. Banyak orang cenderung percaya bahwa, seolah-olah “hal yang jelek hanya terjadi pada orang jahat.” Kata Earnshaw, falasi berpikir bahwa ‘dunia ini adil’ (just-world fallacy) telah menyesatkan kita pada pemikiran bahwa, mereka yang terinfeksi oleh penyakit mungkin telah melakukan kesalahan atau dianggap jahat. Sebagian barangkali beranggapan bahwa mereka yang terinfeksi Covid-19 tidak mencuci tangannya, atau tidak menjaga social distancing –seolah membenarkan hipotesa just world yang digagas psikolog sosial Melvin Lerner itu.

Kepercayaan model begitu menjelaskan bahwa jika kita melakukan semuanya secara benar, maka kita tidak akan terinfeksi. Padahal, kita tidak hidup di dunia yang adil: kita bisa saja melakukan segalanya secara benar, mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik, misalnya, tetapi tetap saja bisa terinfeksi Corona. Perhatikan para dokter dan perawat yang menjadi korban Corona itu –bisa dipastikan mereka sangat mengerti bagaimana mencegahnya, dan telah melakukan semua protokol guna menjaga diri.Toh, kenyataannya, sebagian ‘pahlawan baru’ itu ada yang terpapar hingga meninggal dunia.

Mengancam Setiap Orang

Para ahli sejak beberapa dasawarsa silam menunjukkan bahwa stigma sangat mencederai kesehatan mental dan fisik banyak orang yang sakit. Sebab ia dapat menggiring pada terjadinya penolakan sosial, kekerasan fisik, dan orang menolak pelayanan. Jika mengalami stigmatisasi dari pihak lain, seseorang dapat terkena gejala depresi, stres dan lainnya. Ketika seseorang mengantisipasi bahwa dirinya akan distigmatisasi saja sudah bisa menyebabkannya terkena penyakit mental seperti cemas berlebihan (anxiety) dan stres.

Lalu, mereka yang telah terinfeksi juga bisa menginternalisasi stigma, meyakini bahwa dirinya telah melakukan kesalahan atau menganggap dirinya seorang yang ‘jahat’ sebab (terbukti) ia telah terinfeksi. Fakta bahwa banyak pasien Covid-19 diisolasi secara medis juga dapat menyebabkan makin bertumpuknya masalah: para pasien dalam kondisi terpisahkan ini tampak menunjukkan risiko besar mengidap tekanan (distress). Tidak hanya pada yang sakit, bahkan anggota keluarga penderita dan tenaga pelayan kesehatan yang mengurus pasien yang sakit pun ikut berada pada risiko tinggi mengalami stigma dari orang lain selama wabah.

Stigmatisasi di saat pandemi seperti sekarang bisa mengancam setiap orang. Penelitian pada pandemi HIV (AIDS), Ebola dan penyakit Hansen tempo hari, umpamanya, menunjukkan bahwa stigma mengganggu dan merusakkan usaha-usaha untuk pengujian (testing) dan penyembuhan penyakit. Mereka yang kuatir akan dikucilkan secara sosial jika sakit, cenderung menolak dites atau bahkan menghindari treatment jika mengalami gejala-gejala tertentu. Bisa juga mereka ngumpet.

Meminjam kata-kata Najwa Shihab dalam video Narasinya, “Jika orang enggan melapor karena takut diusir, dicemooh dan dikucilkan, yang rugi kita semua. Virus jadi tidak terdeteksi, sehingga menyulitkan memutus rantai penyebarannya.” Akibat dari falasi berfikir tentang adanya ‘dunia yang adil’ itu, mereka juga mungkin jadi tidak percaya bahwa mereka bisa terkena penyakit itu –“toh saya ini orang baik yang sudah melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak sakit.

Mengurangi Stigma

Terdapat beberapa cara mengurangi stigma dan meningkatkan daya tahan (resilience), sehingga bahkan mereka yang sudah terpapar oleh stigma pun tidak merasakan dampak negatifnya. Pertama, sosialisasi dan edukasi secara terus-menerus oleh pemerintah, yang sayangnya hingga kini terkesan kurang gencar. Kalau belum bisa dikatakan tidak ada, jarang kita melihat iklan layanan masyarakat di media mengenai pencegahan wabah stigma ini.

Kedua, kepemimpinan. Para tokoh dan pemimpin nasional dan lokal yang sakit Covid-19 hendaknya makin terbuka mengenai diagnosanya untuk membantu menormalkan situasi. Pada kondisi ini, pemerintah lagi-lagi mesti memanfaatkan informasi itu guna menggencarkan edukasi masyarakat lewat media. Ambil contoh kejadian di AS. Ketika bintang NBA Magic Johnson mengumumkan dirinya menderita HIV, maka angka pengujian terhadap HIV di AS meningkat secara dramatis. Dalam kaitan ini, unggahan media sosial oleh para pesohor (celebrity) yang telah terkena penyakit tampaknya juga bisa membantu menghilangkan tabu ini. Bahkan kita juga diingatkan: “kalau Tom Hanks dan isterinya Rita Wilson saja dapat terkena Covid-19, maka kita semua bisa.”

Ketiga, tingkatkan peran dunia usaha, swasta maupun BUMN. Para petinggi perusahaan mesti mengedepankan nilai-nilai inklusifitas bagi semua karyawannya. Gerakkan program yang menyokong tindakan penguatan serta mendukung anti stigmatisasi dan penyebab stress lainnya. Karyawan bisa mengatur kegiatan virtual ‘minum kopi bareng’, ngobrol bersama penderita, dan sebagainya.

Keempat, keikutsertaan masyarakat. Sebagai komponen bangsa, setiap kita bisa menelepon tetangga dan mengirim pesan lewat media sosial, khususnya pada yang sakit atau sudah sembuh dari sakit, mendorong sikap optimis, dan tentang harapan untuk bertemu kembali sesudah aturan menjaga jarak ditiadakan. Selayaknya masyarakat juga saling bicara secara terbuka mengenai perjuangan melawan ‘gangguan mental’ yang dihadapi semua. Kesempatan untuk bicara satu sama lain mengenai penyebab-penyebab stress termasuk stigma ini, bisa membuncahkan sikap positif dan kondisi mental yang sehat.

Semua pihak mesti paham bahwa, meski stigma merupakan reaksi ‘wajar’ pada penyakit, bukan berarti itu tidak bisa dienyahkan. Stigma membelah kita, dan menjadikan kita saling memusuhi dan menyebabkan sakit jiwa (mental), sedangkan pandemi seharusnya justru mengingatkan tentang betapa solidnya persatuan kita sebagai bangsa besar. Membagi informasi bahwa kita sama-sama rentan terhadap virus merupakan sumber solidaritas. Semua mesti ingat, bahwa viruslah musuh kita, bukan orang yang positif Corona.

Syafiq Basri Assegaff dokter dan pengajar pada Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Jakarta